Bukan rahasia lagi bila anak-anak yang tinggal di daerah pedalaman sangat sulit mendapatkan kehidupan yang layak seperti anak-anak pada umumnya. Mereka kesulitan mendapat air bersih, mengenyam pendidikan sesuai batas kelayakan pendidikan Indonesia, dan sulit mengikuti perkembangan zaman. Tak hanya itu saja, mereka bahkan tidak mengenal alat komunikasi seperti telepon genggam.
Hal pokok yang menjadi sorotan utama yaitu betapa sulitnya mereka mendapat pendidikan yang layak dan mengenyam pendidikan 12 tahun. Pada faktanya tak semua salah mereka, kesulitan mereka menjangkau lokasi sekolah menjadi masalah karena mereka harus mengarungi sungai. Mereka juga harus berjalan kaki hingga berpuluh-puluh kilo meter, bahkan ada pula yang tak memakai alas kaki.
Kurangnya tenaga pengajar di pedalaman karena sulitnya mencari pengajar yang mau mengajar di daerah tersebut juga sangat disayangkan. Padahal, kualitas seseorang diukur melalui seberapa jauh pendidikan yang dicapai karena kualitas seorang lulusan SD berbeda dengan kualitas seorang sarjana, sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan sangat memengaruhi kualitas seorang anak pedalaman.
Dari dua pertiga dari total masyarakat Indonesia yang buta huruf adalah perempuan dan usianya di atas 45 tahun. Masyarakat Indonesia yang ada di bawah umur 45 tahun hampir 98 persen itu bisa membaca tulis dengan baik. "Bank Dunia belum punya data tentang Indonesia. Ini semacam wake up call buat kita. Di dunia ada learning poverty
Realita literasi Pengajar Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Indonesia dan Singapore Univesity of Social Science, Ibnu Wahyudi menyebutkan realitas learning poverty yang disebutkan Bank Dunia memang terjadi Indonesia. Kemampuan baca tulis di Indonesia tak sesuai dengan hakikat pengertian literasi. "Pada kata "literasi" itu hakikatnya termaktub makna pemahaman kritis; bukan sekadar mampu mengucapkan kata atau kalimat. Sayangnya, pada usia awal bersekolah, aspek pemahaman dan mempertanyakan ini kurang mendapat peran," kata laki-laki yang akrab disapa Iben saat dihubungi Kompas.com Padahal, lanjut Ibnu, kemampuan membaca harus mencapai ranah subversif. Oleh kenyataan ini, banyak perilaku yang abai atas rambu atau peraturan dan salah menulis. Sebagai contoh, rambu "Belok Kiri Jalan Terus" tidak langsung dapat dipahami. Atau "Daerah Bebas Becak" tidak segera dapat dipahami dengan jelas. Iben menjelaskan cerita sederhana sendiri adalah cerita dengan kalimat tidak majemuk bertingkat atau dalam satu kalimat tidak lebih 12 kata. "Dalam dunia sastra, ketika bacaan untuk anak usia awal tidak digarap dengan cendekia, tidak dengan nalar yang tepat, hasilnya tak lebih "selesai dibaca" dengan pemahaman minimal," lanjut Iben. Iben menyarankan guru-guru SD harus diberi pelatihan dan kesadaran baru dalam aktivitas membaca ini sebagai basis pemahaman. Nalar membaca rendah
Salam Literasi ....
Atimah,S.Pd
Komentar
Posting Komentar